Proses Berdirinya
Pondok Pesantren Wathoniyah Islamiyah Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas didirikan pada tahun 1878 yang bertepatan dengan tahun 1296 Hijriyah oleh Kyai Haji Muhammad Habib dengan dukungan dari para sanak famili, yang tak lama berselang setelah kepindahan beliau dari kampung asalnya yakni Desa Daratan, Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen.
Setelah di tempat yang baru mereka berhasil mendirikan sebuah masjid jami’, kemudian muncul inisiatif dari pak Kyai untuk memanfaatkan masjid tersebut sebagai media penyebaran dan pengajian agama Islam. Dengan model dakwah yang halus, kegiatan pengajian itupun akhirnya mendapat sambutan yang hangat dari para penduduk sekitar, khususnya di desa Kebarongan sendiri.
Karena memang berasal dari lingkungan keluarga pondok pesantren, timbul kemudian niatan untuk membangun sebuah asrama –kombongan atau lokal—untuk pemondokan bagi para santri yang khususnya berasal dari luar desa Kebarongan. Inilah momentum sejarah terbentuknya Pondok Pesantren Wathoniyah Islamiyah Kebarongan yang sampai saat ini telah menamatkan puluhan ribu santriwan-santriwatinya yang tersebar di bumi Nusantara. Sedangkan di antara para alumnus tersebut ada yang berasal dari desa Karangduwur kecamatan Petanahan, yang kemudian mendirikan sejenis model pendidikan agama Islam yang sama dengan Pondok Pesantren Wathoniyah Islamiyah Kebarongan.
Biografi Pendiri
Almarhum Kyai Haji Muhammad Habib, lahir dan dibesarkan di desa Daratan, Kecamatan Prembun, Kabupaten kebumen. Pak Kyai ini merupakan putera ketiga dari almarhum Kyai Imam Muhammad. Semasa muda, Kyai Muhammad Habib memiliki semangat yang sangat besar dalam menuntut ilmu. Hal ini dibuktikan setelah tak puas hanya nyantri di Pondok Soumalangu, Kyai Muhammad Habib pergi untuk beribadah Haji sekaligus dimanfaatkan untuk memperdalam pengetahuan Islam Makkah Al-Mukarromah, selama hampir kurang lebih dua tahun lamanya.
Setelah pulang, Kyai Haji Muhammad Habib mengajak sanak familinya untuk membuka sebuah areal pemukiman baru yang akan digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus untuk dijadikan sebagai tempat pusat pengajian agama Islam. Akhirnya dipilihlah sebuah tempat yang saat itu masih berupa hutan di desa Kebarongan. Masyarakat disekitar hutan mengenal daerah itu bernama hutan Teleng yang terkenal sangat angker.
Namun dengan tekad yang bulat dan dengan niat suci lillahi ta’ala untuk mencari ridha Allah Subahanahu wata’ala, hutan Teleng itu dibabat, dibersihkan segala semak belukar, mengolah tanah untuk ditanami, dan membasmi segala bentuk isu-isu keangkeran hutan tersebut.
Tindakan berani sang Kyai itu justru menimbulkan simpati yang mendalam di hati masyarakat sekitar. Inilah awal dakwah yang baik dari Pak Kyai, karena setidaknya pak Kyai telah menunjukkan kepada masyarakat sekitar bahwa hanya Allah SWT sajalah yang perlu ditakuti dan perlu disembah, juga hanya Allah SWT saja yang akan melindungi umat manusia dari segala kejahatan baik dari syaitan maupun dari manusia.
Simpati masyarakat berlanjut dengan bersedianya mereka untuk mengikuti shalat jamaah di masjid jami’ dan mengikuti kegiatan pengajian yang diadakan oleh Kyai Haji Muhammad Habib.
Hanya sekitar 1 tahun saja pengabdian Kyai Haji Muhammad Habib, karena kemudian wafat pada tahun 1888, yang kemudian diteruskan oleh putra-putri beliau yang istiqamah untuk meneruskan syi’ar Islam.
Proses Perkembangan
Periode I (1878-1888)
Dalam periode ini, pimpinan dipegang langsung oleh Kyai Haji Muhammad Habib, yang merintis berdirinya pondok, dan beliaupun nampaknya belum sempat menyempurnakan sarana prasarana yang diperlukan layaknya sebuah pondok pesantren. Hal ini tidak lain karena selain kesibukannya sebagai pengajar tunggal, ia pun masih harus melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga yang harus mengurus sawah, khususnya di siang hari. Sehingga praktis pada periode awal ini baik mesjid maupun kombongan yang berdiri sangat sederhana dan jauh dari layak. Namun pun demikian, sistem pengajaran standar pondok pesantren tetap diberlakkan seperti menggunakan sistem sorogan maupun bandungan.
Sistem sorogan adalah: Seorang kyai mengajar seorang santri yang santri itu menyodor kitab yang dikehendakinya kepada Kyai.
Sistem bandungan adalah: Seorang Kyai mengajar suatu kitab yang dikerumuni oleh para santri, tanpa emmbedakan kemampuan dan pengetahuan para santrinya.
Periode II (1888-1906)
Sepeninggal Almarhum Kyai Haji Muhammad Habib, pimpinan Pondok segera dipegang oleh Kyai Haji Abdullah Kholifah, yang tidak lain adalah putera menantu Kyai haji muhammad Habib sendiri, yang dikenal alim. Pada periode ini jumlah santriwan yang blajar di ponpes ini bertambah yakni menjadi 75 santriwan dan sekitar 25an santriwati. Adapaun ruang pengajian antara santriwan dan santriwati terpisah, demikian juga waktu-waktu pengajiannya.
Periode III (1906-1911)
Setelah wafatnya Kyai Haji Abdullah Kholifah, tampuk pimpinan dipegang oleh Kyai Haji Damanhuri, yang tidak lain adalah putera sulung K.H Muhammad Habib.
Periode IV (1911-1938)
Pada periode ini, salah seorang putra dari pendiri yakni putra bungsu bernama Kyai Haji Abdullah Zawawi ternyata memiliki semangat yang sangat luar biasa untuk turut serta dalam memajukan pendidikan Islam. Karena tak mungkin ada dua kepemimpinan dalam satu pondok, akhirnya Kyai Haji Damanhuri mencoba bertindak secara bijak yakni untuk konsisten berjuang di dalam dengan cara memakmurkan masjid. Ini dibuktikan dengan membuka satu mesjid lagi di grumbul wetan sekaligus membuka pondok pengajian. Sementara Kya Haji Abdullah Zawawi, selain terus berkarya mem\ngembangkan Pondok Pesantren yang lama, ia mencoba membuka ladang perjuangan baru: membuka hubungan keluar dan mencari dukungan baik moril maupun materiil kepada tokokh-tokoh ulama Indonesia maupun ormas-ormas Islam.
Kemajuan dan perkembangan pondok mulai dikenal oleh tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan di Solo, sehingga kontak-kontak atau hubungan ke luar mulai berjalan, dan sedikit banyak pengaruh pembaharuan dapat diterima oleh staf pendidik pondok. Informasi mengenai sistem pendidikan dan bahan-bahan pengajaran dari luar, sedikit demi sedikit diterapkan di dalam, sebagai bentuk penyesuaian terhadap perkembangan zaman.
Pada periode ini, jumlah santriwan dan santriwati meningkat tajam. Berita tentang Pondok Pesantren Kebarongan tersiar luas baik di Jawa maupun di Sumatera. Beberapa tokoh pergerakan nasional seperti HOS Tjokroaminoto, Sangadji, KH Agus Salim, RM Surjo Pranoto, Sjamsuridjal dan tokoh-tokoh lain silih berganti berdatangan mengunjungi pondok pesantren Kebarongan ini.
Kesibukan Kyai haji Abdullah zawawi sebagai pemimpin Pondok pun bertambah. Bahkan beberapa tahun berselang setelah kedatangan tokoh-tokoh tersebut, dalam sebuah rapat komite, Kyai haji Abdullah Zawawi terpilih untuk memimpin sebuah organisasi Pergerakan nasional bernama Syarikat Islam (SI) afdeling (perwakilan) Kebarongan. Tujuan beliau saat itu turut serta dalam SI adalah untuk turut serta membangun cita-cita kemerdekaan agar segera terbentuk sebuah negara yang merdeka, mandiri, dan tentu saja berasaskan islam sehingga ummat Islam dapat melaksanakan syariat islam dengan sempurna, sebagaimana cita-cita SI sendiri.
Pada tahun 1914, sistem pengajaran di pondok direformasi menjadi tiga kolompok:
1. Kelompok pertama dengan sistem sorogan dan bandungan bagi santri, yang waktu penyelenggaraanya diadakan setelah shalat jama’ah ’isya.
2. Kelompok Tamrirus Syibyan atau kelompok latihan anak-anak. Namun dalam kenyataanya santri kelompok ini ada juga yang sudah dewasa, karena kebnayakan belum mengenal huruf arab dan belum bisa membaca al-qur’an.
3. kelompok pengajian umum, yang diperuntukkan bagi kalangan orang tua, masyarakat awam dan orang-orang abangan yang baru masuk islam.
Dalam tugas pengelolaan pondok yang bertambah rumit ini, pimpinan pondok dibantu oleh beberapa kyai antara lain:
1. KH Asmu’i
2. KH Abdul Ro’uf.
3. Kh Munawwir
4. Kyai Mujtahid
5. Kyai Abdul halim
6. KH Chomrowi
7. H Munir
8. Markum
9. H Ismail.
10. KH Nachrawi
Kekompakan barisan para pengelola pondok ini ternyata menuai hasil yang menggembirakan. Dengan dibantu dorongan moril maupun materiil dari pergerakan Syarikat Islam, akhirnya berdirilah sebuah lembaga pendidikan Islam baru yang diberi nama Madrasah Islamiyah (jadi saat itu namanya belum Madrasah Wathoniyah Islamiyah) Memang kondisi politik saat itu, para pimpinan organisasi pergerakan terus mendesak kepada pemerintah kolonial belanda untuk segera memberlakukan politik etis. Salah satunya adalah perluasan kesempatan untuk mengenyam pendidikan bagi rakyat Indonesia. Sehingga berdirinya Madrasah Islamiyah tidak lepas dari upaya untuk memanfaatkan pemberlakuan politik etis.
Bisa jadi, inilah satu-satunya sekolah Islam bernama Madrasah yang pernah berdiri di Jawa bagian selatan. Dan keberadaan Madrasah inipun segera mendapat pengakuan dan pengesahan dari pemerintah kolonial Belanda pada saat itu tertanggal 15 Juni 1916, dengan status sekolah Partikuler.
Pertama kali berdiri, lokal Madrasah Islamiyah sangat sederhana karena baru menampung murid sebanyak kurang lebih 78 siswa, yang diasuh oleh dua orang guru yakni:
1. KH Abdullah Zawawi.
2. KH Munawir
Adapun mata pelajaran yang diajarkan pada saat itu adalah:
1. Menulis dan membaca huruf Arab dan arab pegon.
2. Membaca Alqur’an
3. Pelajaran Thaharah dan Shalat.
Waktu demi waktu, dari tahun ke tahun jumlah murid yang ingin sekolah di madrasah ini terus bertambah. Untuk melayani peserta didik ini, pihak pengelola pondok pun akhirnya menambah guru untuk penugasan pengajaran. Sehingga ketika pada tahun 1920, tercatat murid yang mengenyam pendidikan di Madrasah Islamiyah mencapai 132 siswa dengan 5 lokal ruang. Selain berasal dari daerah banyumas sendiri, siswa-siswi ini berasal dari beberapa kabupaten sekitar antara lain; Kebumen, Cilacap, dan Purbalingga. Adapun seorang guru baru yang diangkat untuk mengajar adalah: KH Abdul Ro’uf dan K Mudjahid. Sedangkan mata pelajarannyapun bertambah antara lain:
1. Ilmu Sharaf
2. Ilmu Nahwu
3. Ilmu Fiqh.
Pada tahun 1922, perkembangan Madrasah Islamiyah Kebarongan menunjukkan kondisi yang kurang memuaskan. Hasil dari pendaftaran siswa baru sangat minim. Penyebabnya adalah, pada tahun-tahun itu Pemerintah kolonial Belanda sendiri membuka secara besar-besaran sekolah-sekolah umum dengan kurikulum yang menarik dan jaminan lapangan kerja yang menggiurkan setelah mereka lulus.
Agar tidak terdesa oleh adanya persaingan tidak sehat ini, pengelola Pondok, madrasah dan dibantu oleh pengurus Syarekat islam afdeling Kebarongan segera membentuk Team Penyusun Rencana/ Program Pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat Madrasah agar bisa sejajar dengan HIS dalam mata pelajaran umum.
Rencana itu pun akhirnya tersusun dengan rancangan biaya yang diperlukan sebanyak 10.000 gulden. Dana sebanyak ini direncanakan untuk pembiayaan sarana dan prasarana madrasah. Dan proposal ini semula akan diajukan kepada pemerintah Kolonial Belanda. Namun semua niatan itu akhirnya pupus, setelah pada tahun 1926 PKI melancarkan aksi pembangkangan dan pemberontakan. Sekalipun aksi ini PKI hanya berjalan selama satu hingga dua hari, namun dampaknya sangat luar biasa dirasakan oleh umat Islam. Pemerintah Belanda akhirnya bersikap keras terhadap seluruh organisasi-organisasi pergerakan, termasuk kepada Syarikat Islam. Sehingga keberadaan Madrasah Islamiyah inipun tak luput dari sikap Belanda yang lebih banyak menekan dan membungkam dari pada membiarkan berkembang.
Sekalipun rencana pembangunan sarana dan prasarana itu pudar, dengan kemampuan yang dimiliki, Madrasah Islamiyah mencoba menambah beberapa mata pelajaran umum yang biasa diajarkan disekolah-sekolah Belanda seperti:
1. Membaca dan menulis huruf latin
2. Berhitung
3. Bahasa dan sastra Melayu.
Pada tahun 1929, untuk pertama kalinya Madrasah Islamiyah Kebarongan melepaskan tamatannya, sedangkan murid dari semua kelas jumlah keseluruhannya ada sekitar 242 siswa.
Pada tahun 1931, terjadi sebuah momentum yang snagat berarti dalam sejarah Madrasah Islamiyah Kebarongan, antara lain karena:
1. Nama Madrasah Islamiyah Kebarongan diubah menjadi Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan, yang dalam bahasa Indonesia berarti: “Sekolah Berkebangsaan Islam atau Sekolah Berkebangsaan yang berazas Islam”
2. Pemberlakuan Pembagian kelompok kelas yang dibagi menjadi 2:
a. Kelompok Kelas Latin dengan bahasa pengantar yakni Bahasa Indonesia.
Kelompok ini terdiri dari 4 kelas dengan team pendidik antara lain:
1. Markum.
2. Abdul Charis.
3. Muhammad Chusnan
4. KH Abdul Waha (Qolun)
5. Achmad Ridwan
6. Salamun
b. Kelompok Kelas Arab dengan tulisan dan bahasa pengantar bahasa Arab. Kelompok ini terdiri dari 5 kelas dengan team pendidik antara lain:
1. Sunan Muchdir
2. Mufro’il
3. Marghoni
4. Chamami
5. Haji Chudori
Dalam perkembangan selanjutnya, para alumni Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan yang pulang kekampung halamn masing-masing, mencoba merintis cabang Madrasah antara lain muncul di:
1. MWI cabang Gombong dengan pimpinan KH Abdul Ghofir dan selanjutnya berkembang lagi di Karanganyar, Rowokele, Kuwarasan, Brangkal, Kalidondong dan beberapa tempat lainnya yang belum sempat mendapat pengesahan dari pusat (Kebarongan)
2. MWI Cabang Sidareja dengan pimpinan Kyai Djazuli yang beberapa tahun berikutnya berkembang lagi di daerah Cikawung dan Suruhan.
3. MWI Cabang Kebumen dengan pimpinan Haji Chusen
4. MWI Cabang Purworejo dengan pimpinan Yusuf Subagijono, yang bertempat di desa Balaidono dan ada satu agi yang berkembang di desa Ngemplak, Kutoarjo.
Namun pun demikian hingga tahun 1978, cabang-cabang Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan yang masih eksis adalah:
1. MWI cabang Redisari, Rowokele, Kebumen (kini MIS Muhammadiyah)
2. MWI cabang Karangduwur, Petanahan, Kebumen.
3. MWI cabang Karangjati, Kemranjen, Banyumas.(kini MTs Muhammadiyah)
4. MWI cabang Meluwong, Cilacap (kini sudah tidak ada lagi)
Kemajuan perkembangan Pondok Pesantren dan Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan yang telah dicapai dengan perjuangan gigih, telah emndapati rintangan-rintangan terutama oleh Pihak pemerintah Kolonial Belanda yang tidak menginginkan kemajuan pada ummat Islam.
Periode V (1938-1942)
Sementara KH Abdullah Zawawi mencapai usia sepuh, tampuk pimpinan Pondok, Mesjid dan Madrasah diserahkan kepada puteranya, Kyai Sunan Muchdir. Dalam periode kepemimpinan beliau, tingkat kelas tertinggi adalah 7, sementara pelajaran keterampilan, bahasa Belanda juga diajarkan. Nama pondok Pesantren dan Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan inipun berkibar. Santriwan-dan santriwati semakin banyak yang berdatangan dari seluruh penjuru daerah. Bahkan ada salah seorang santri yang jauh berasal dari Singapura, yang pada waktu itu masih menjadi satu dengan semenanjung Malaysia, di bawah jajahan Inggris.
Namun menjelang jepang tiba, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan peraturan baru yang bernama Undang-undang Welde Schoolen yang berisikan: bahwa Pemerintah Belanda berhak mencampuri urusan Rumah Tangga Sekolah Swasta. Akibat dari ndang-undang tersebut, sistem pengelolaan, pengajaran dan kurikulum Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan harus dirobah. Saat itu team penilik pengajaran dan pendidikan Kolonial belanda menyuruh agar Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan menyusaikan diri dengan kurikulum Madrasah ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah yang berlaku di Negara Mesir, dan semua mata pelajrannya harus berbahas Arab.
Mata pelajaran yang impor dari Negara Mesir itu adalah:
1. An-Nahwu
2. As-Sharaf
3. Al-Balaghah
4. Al-Tafsir
5. Al-Jughrofiyyah (Geografi)
6. Al-Qiraah (bacaan)
7. Al-Hadits
8. ’Ilmu as-Sihhah
9. At-Tarikh
10. Al-Insya
11. Al-Lughah
12. Al-Hisab.
13. At-Tauhid
14. Al-Imla
15. Al-Fiqh, dan lain-lain
Adapun bahasa pengantar di kelas 1 hingga 2 masih diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu dan Jawa. Sedangkan untuk kelas 3 hingga kelas 7 harus menggunakan bahsa pengantar Bahasa Arab.
Adapun guru-guru tambahan yang mengajar di Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan adalah:
1. Abdul Mu’thi
2. Sachidin
3. Abdul Cholik
4. Basrun
5. Muhammad Syatibi
6. Abdul Malik
7. ’Asifuddin Zawawi *)
*) ket: K.H. ’Asifuddin Zawawi adalah ayahanda dari Ustadz Jauhar Muhammad ibn 'Ashifuddin, saat ini memangku jabatan sebagai Kyai di Pondok Pesantren dan Madrasah Wathoniyah Islamiyah, Karangduwur, Kec. Petanahan, Kab. Kebumen. adapun Adik kandung Ustadz Jauhar adalah Kyai Faiz yang saat ini menjadi Mudzir (pimpinan) Pondok Pesantren Al-Bukhari yang beralamat di Jl. Raya Solo-Purwodadi Km. 8 desa Selokaton Kecamatan Godangrejo Kabupaten Karanganyar - Solo
Selang beberapa tahun setelah pemberlakuan sistem kurikulum a la Mesir, Tentara Jepang menyerbu ke Indonesia dan mengalahkan Belanda tanpa syarat dalam waktu yang sangat singkat. Orang-orang Jepang memang terkenal snagat cekatan, cepat dan taktis. Bahkan belum sempat ada satu tahun bercokol di bumi Nusantara ini, Jepang sudah melakukan penggantian semua sistem administasi peninggalan Belanda, termasuk model dan kurikulum sekolah.
Pada zaman ini, pemerintah Jepang sebenarnya lebih banyak memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan, seperti pemberlakuan pendidikan dasar 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Bahkan Jepang pun menghapus penggunaan bahasa pengantar Belanda yang masih dipakai disekolah-sekolah umum, diganti dengan bahasa Indonesia. Untuk ummat islam, Jepang pun memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk siapa saja yang ingin pergi haji, sehingga tidak ada batasan kuota. Jepang juga mendirikan sebuah partai Politik khusus bagi ummat islam bernama MIAI yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Namun semua itu adalah taktik dan cara Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Selain itu, dengan banyaknya rakyat Indonesia yang bersedia sekolah, maka makin mudah jepang melakukan penyebarluasan kampanye yang diinginkan Jepang. Melalui sekolah dan madrasah, Jepang mudah melakukan kontrol terhadap rakyat Indoensia. Sebagai contoh, Jepang menerapkan latihan disiplin yang sangat ketat dan olah raga taiso agar jasmani remaja Indoensia sehat, sehingga bisa diarahkan untuk menjadi tentara jepang (Seinendan, Fujinkai, Keibodan atau PETA). Bahkan lama kelamaan, kurikulum pendidikan yang diberlakukan Jepang adalah lebih banyak diarahkan untuk persiaan perang. Selain diajarkan latihan dasar kemiliteran, para siswa sekolah pun wajib untuk melakukan Seikeirei (penghormatan kepada kaisar dengan cara menghadap ke arah matahari terbit setiap pagi) yang kemudian dilanjutkan menyanyikan lagu Kimigayo, yakni lagu kebangsaan Jepang. Wajib juga bagi sekolah untuk menggunakan bahasa Jepang selain bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di Sekolah, dan para guru pun wajib mengikuti kursus bahasa Jepang. Tentu saja dengan adanya para pengelola pendidikan baik sekolah maupun madrasah dan para siswa yang enggan melakukan kewajiban-kewajiban itu, maka mudah bagi jepang untuk mengetahui adanya ketidak patuhan kepada Pemerintah Jepang.
Bagi pimpinan Pondok Pesnatren dan Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan saat itu, kewajiban-keajiwan seperti melakukan Seikeirei adalah perbuatan syirik, melanggar ketentuan aqidah yang dimiliki orang islam yang taat. Prinsip yang dipegang oleh pimpinan pondok dan beberapa pengajar di Madrasah tersebut, akhirnya di ketahui oleh tentara jepang dan dituduh melakukan pembangkangan dan hendak memberontak kepada jepang.
Mereka yang ditangkap dan kemudian dibunuh oleh Jepang adalah:
1. Kyai Sunan Muchdir
2. Kyai Mufro’il (saudara kandung Kyai Sunan Muchdir)
3. Kardan (Pembantu pengurus MWI asal dari desa Kedungping)
4. Abu Amar (Pembantu pengurus MWI asal dari desa Semampir)
5. Muhammad saing (Pembantu pengurus MWI asal dari desa Semampir)
Kelima orang tersebut meninggal sebagai syuhada’ di penjara Purwokerto (dulu di selatan alun-alun Purwokerto) setelah di tembak oleh tim regu eksekutor tentara Jepang pada tanggal 21 Maret 1942.
Selain dari lima orang yang meninggal sebagai syuhada’ tersebut, beberapa orang baik tokoh maupun staf pembantu pengajar di Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan juga ditangkap, namun hanya dikenakan hukuman penjara beberapa bulan. Mereka ini adalah:
1. K.H Abdullah Zawawi (Penasehat dan pimpinan Pondok)
2. Dala’il (Pembantu pengurus MWI asal dari desa Kebarongan)
3. Suwanda (Pembantu pengurus MWI asal dari desa Nusamangir)
4. A. Bahwa (Murid MWI yang berasal dari Purbalingga)
5. dan beberapa orang lainnya yang tidak sempat tercatat.
Adapun lembaran sejarah peristiwa mengenai ditangkap dan dibunuhnya tokoh-tokoh MWI Kebarongan ini, tercatat di halaman 55 dalam buku ”Kenang-Kenangan 1942” yang disusun oleh RM Gondosubroto. Beliau adalah Bupati terakhir dalam masa penjajahan belanda di Banyumas. Berikut petikan catatan tersebut:
”Desa Kebarongan adalah terkenal sebagai tempat kediaman rakyat islam di pimpin oleh seorang guru ngaji bernama Muchdir bin Zawawi beserta keluarganya. Setelah tentara Jepang masuk distrik Sumpiuh, Muchdir menganggap dirinya sendiri sebagai pemimpin yang akan dapat menyelesaikan penduduk dari segala mara bahaya. Wedana Sumpiuh pada waktu itu Mas Sumawidjaya dan di bantu Asisten Wedana (Siten) Kemranjen R. Mulyadi, berhasil menangkap Muchdir bserta pengikut-pengikutnya yang tidak mengadakan perlawanan, untuk terus diangkut ke Purwokerto. Akhirnya Muchdir beserta empat orang pengikutnya ditembak mati di Rumah Penjara Purwokerto.”
Setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan itu, kondisi Pondok Pesantren, Mesjid dan Madrasah Wathoniyah Islamiyah sepi mencekam. Beberapa sanak famili dan para staf pengajar memilih untuk menghentikan aktivitas belajar mengajar, kecuali hanya jama’ah shalat di mesjid seperti biasanya. Beberapa kali tentara jepang mengunjungi desa Kebarongan untuk memastikan apakah setelah penembakan mati tokoh-tokoh MWI tersebut akan ada penggalangan kekuatan untuk membalas dendam atau tidak.
Periode VI (1942-1950)
Sekembalinya KH Abdullah Zawawi dan rekan-rekan dari rumah Penjara Purwokerto, akhirnya kegiatan pendidikan baik di Pondok, mesjid maupun di Madrasah dihidupkan kembali. Sekalipun tak seperti sediakala, sekalipun hanya dihadiri oleh sejumlah santriwan dan santriwati yang bersedia kembali, namun semangat untuk terus menghidupkan Pondok dan Madrasah tetap membara. Sebagai gantinya dari Kyai Sunan Muchdir, rapat pondok akhirnya memutuskan untuk menunjuk Kyai Abdul Wahab alias Qolun sebagai pemegang tampuk pimpinan Pondok dan Madrasah. Kyai Qolun ini masih tercatat sebagai kemenakan dari KH Abdullah Zawawi.
Kondisi ekonomi di zaman pendudukan tentara jepang memang sangat menyedihkan. Dan inilah salah satu faktor yang membuat para santri dari luar daerah tidak bisa kembali lagi ke Kebarongan untuk meneruskan kegiatan mencari ilmunya. Keadaan ini terus berlangsung hingga peristiwa 17 Agustus 1945, pembacaan naskah Proklamasi kemerdekaan RI terjadi. Pada waktu itu, banyak juga alumni maupun murid MWI yang masuk laskar pejuang Sabilillah dan Hizbullah. Dengan bermodal senjata rampasan pelucutan senjata Jepang, mereka ikut mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Beberapa dari mereka harus gugur saat menghadapi tentara sekutu dan Belanda, yang bersikeras melarang sejata-senjata Jepang jatuh ke tangan rakyat Indonesia.
Selang 7 bulan setelah berkumandangnya Proklamasi kemerdekaan, apa yang dikuatirkan rakyat Indonesia menjadi kenyataan. Belanda kembali melakukan agresi militernya ke Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Setelah ada ultimatum dari Belanda bahwa seluruh daerah Jawa Barat, Jawa Tengah harus dikosongkan dari para gerilyawan dan Tentara RI, maka anggota sabilillah dan Hizbullah pun sebagian ada yang ikut hijrah mengungsi ke Yogyakarta termasuk pimpinan pondok, staf pembantu dan murud-muridnya. Karena pada saat itu hanya daerah Yogyakarta sajalah yang diakui oleh Belanda sebagai Wilayah RI. Sedang sebagian anggota sabilillah dan hizbullah lainnya memilih untuk tetap kembali ke daerah (tidak ikut mengungsi), sebagian bergabung dengan Angkatan Oemat Islam (AOI Kebumen) pimpinan Kyai Soumolangu, dan sebagian lagi memilih bergabung dengan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Kebarongan pada saat itu memang dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan gerilya. In terbukti dari keikutsertaan Kyai Haji Marghoni yang menjabat sebagai salah satu ustadz di MWI, beliau memangku jabatan sebagai camat Onder Distrik Militer Kecamatan Kemranjen.
Adapun kegiatan Pondok, mesjid dan madrasah tetap diselenggrakan dan berjalan seperti biasanya. Dan inilah uniknya, karena para ustadz lebih banyak terjung ke kancah peperangan dan ikut bergerilya, maka yang menggantikan tugas kegiatan adalah para istri ustadz. Mereka itu antara lain:
1. Nyonya Mursidah Abdullah bin Nuh
2. Nyonya Chudewi
3. Nyonya Chatidjah, dan dibantu dengan ustad lain yang masih tersisa di kebarongan antara lain:
4. Suhail
5. Zubad Isma’il
6. Suwondo
7. Sudomo
Menyusul kemudian hadir staf pengajar yang baru yang berasal dari Cianjur yakni: Al-ustadz Abdullah bin Nuh, seorang Ulama, Ahli Bahasa yang mampu menguasai bahasa Arab sejak umur 8 tahun, sekaligus seorang penulis dan penyusun Kamus Indonesia Arab-Inggris yang pertama kali di indonesia. Selain mengajar tentang kitab-kitab, Abdullah Nuh juga memberikan kursus bahasa Inggris.
dinukilkan dari: http://ppwi-karangduwur.blogspot.com/2011/02/merunut-sejarah-ke-belakang-mwi.html
0 komentar:
Posting Komentar